Selasa, 22 Desember 2015



Revolusi industri masih belum mencapai Tropics dan produksi bir, terutama untuk bir bir, itu tidak mungkin. Karena es iklim atau pendinginan mekanis tidak cukup, selama bulan pematangan bir, untuk mencapai suhu di atas tingkat pembekuan.
Tapi, karena ada banyak bir mabuk dalam iklim haus Hindia, sehingga bir harus diimpor. Dalam rangka menjaga bir baik, dalam hal apapun, itu harus dipasteurisasi. Tapi pasteurisasi dalam pembuluh secara teknis sangat sulit. Dengan demikian, hampir semua bir yang disediakan dalam botol.
Pabrik bir Belanda besar seperti Heineken, Amstel, Zuid-Hollandsche Bierbrouwerij, Van Vollenhoven dan Phoenix mengisi botol untuk ekspor. Hal ini jelas terlihat dalam materi iklan pada periode dari sekitar 1900-1940, sering botol atau label muncul di koran-koran atau magazinesof Batavia.
Kompetisi sengit. Tidak hanya Brewerie Belanda diekspor ke Hindia Belanda, bir Jerman seperti Beck & Co (Bremen) dengan merek Koentji (merek dengan kunci) dan Kloster Beer. Juga mewakili Inggris, Amerika dan pabrik Jepang.
Hari botol besar (620 ml sekarang) masih disebut 'Bremer' di Indonesia.

Dengan perjalanan panjang, bir di Hindia Belanda sangat mahal dan kualitas meninggalkan banyak yang harus diinginkan sebagai akibat dari penanganan yang ceroboh.

Tempat pembuatan bir pertama di Indonesia adalah tanggal 1885, Nederlandsh-Indische Bierbrouwerij "De Kroon", ketika mesin uap empat tenaga kuda, digunakan untuk menghasilkan es. Pada Januari 1886 pembuatan bir mampu membuat bir. Pembuatan bir mulai produksi pada 6 Mei, 1886. Kapasitas 3.000 botol per hari. Itu mampu memberikan bir untuk setengah harga bir impor. Jenis pertama dibawa di pasar yang Princesse, India Ale dan Extra Stout. Pembuatan bir ini telah di produksi selama sekitar 5 tahun. Terlihat bir berasal dari boiler, bir fermentasi diseduh. Sebagian besar bir impor telah difermentasi. Ini mungkin telah memainkan trik pada pembuatan bir. Itu dinyatakan bangkrut pada tahun 1890.

Rene Gaston Dreyfus adalah putra seorang bankir Perancis yang mengikuti pelatihan bir. Ia mendirikan di Swiss Societe Financiere yang Brasseries (Sofibra). Dreyfus dihubungi pada tahun 1929 oleh Heineken Brewery Company NV (HBM) untuk memeriksa apakah itu mungkin untuk membangun sebuah pabrik di pulau Jawa. Bersama dengan JHR Feith (Heineken) ia melakukan perjalanan ke Hindia Belanda. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa Surabaya adalah satu-satunya cocok sebagai lokasi untuk pembuatan bir.
Dalam perjalanan kembali ke Belanda Feith melakukan berhenti di Singapura. Di sana, ia mendapat berhubungan dengan Fraser & Neave, yang akhirnya menyebabkan kolaborasi.
NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen secara resmi dibuka pada tanggal 21 November 1931. Bir yang diproduksi di bawah merek Java dan pembuatan bir biasanya disebut Java Brewery.
Pada tahun 1937 dimulai dengan perluasan dan renovasi tempat pembuatan bir. Maka nama perusahaan diubah menjadi Heineken Nederlands-Indische Bierbrouwerij Maatschappij. Sejak saat itu dijual bir juga di bawah merek Heineken dengan label Heineken dengan bintang terkenal. Seringkali orang memerintahkan "Bintang" mengacu pada logo Heineken. Impor Heineken bir dari Belanda dihentikan.
Saat itu diperkenalkan oleh Heineken pembuatan bir merek baru 'Rex'. Bir ini harus masuk ke dalam persaingan dengan impor bir Jerman. Namun, itu gagal karena nama 'Rex' terdengar sangat mirip dengan 'Beck'.

Setelah Perang Dunia Kedua, sebelum Jepang menyerah, Republik Indonesia diproklamasikan. Akhirnya transfer resmi kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Heineken terus sebagai 'Heineken Indonesia Brewery ME. NV '. Sejak tahun 1957, kebijakan kapitalisme negara nasionalis masuk. Jadi, semua wilayah Belanda yang tersisa memadamkan. Ini bekerja buruk bagi banyak perusahaan.
Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965, itu berarti bahwa perubahan itu perlu. Pada tahun 1967, Heineken akhirnya mengambil alih tempat pembuatan bir dan namanya berubah menjadi PT. Perusahaan Bir Indonesia.
Sejak tahun 1982 perusahaan ini bernama PT. Multi Bintang Indonesia. Selama beberapa tahun itu diseduh Bintang dan Heineken lagi.

Jauh sebelum brewery ada di Indonesia, sangat mustahil untuk dapat menikmati sebotol bir dingin. Ini disebabkan karena minimnya faktor SDM dan hal-hal teknis yang dianggap kurang mumpuni pada saat itu. Satu-satunya jalan untuk bisa menikmati bir di sini adalah dengan cara mengimpor. Namun lagi-lagi, untuk mengimpor barang dari luar Indonesia kala itu, moda transportasi yang lazim digunakan adalah melalui jalur laut. Ini bisa memakan waktu yang cukup lama dan mengakibatkan kondisi bir menjadi kurang bagus setibanya di Indonesia. Maka dari itu, bangsa Belanda lalu memutuskan untuk mendirikan sebuah brewery di Indonesia untuk mengakomodir kebutuhan akan bir tersebut.
Sejarah bir di Indonesia dimulai pada tahun 1929, di mana saat itu bangsa Belanda yang dalam masa pendudukannya di Indonesia, mendirikan sebuah brewery yang berlokasi di Surabaya. N.V. Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen atau yang dulu juga dikenal dengan nama Java Brewery adalah nama dari brewery tersebut. Bir yang diproduksi di sana lalu dikenal dengan nama Java Bier.






Di tahun 1937, Java Brewery melakukan renovasi pabrik dan memperluas jaringan usahanya. Tidak berselang lama, nama perusahaannya pun berganti menjadi Heineken’s Nederlands-Indische Bierbrouwerij Maatschappij. Sejak saat itu penjualan bir Heineken mulai merambah pasar Indonesia dan impor bir Heineken kemudian dihentikan. Satu fakta yang cukup menarik pada masa itu, orang kerap memesan bir Heineken dengan menyebut “Bintang” karena gambar bintang berwarna merah yang memang ada di logo Heineken tersebut.



Pasca Perang Dunia II, tepat sebelum Jepang akhirnya menyerah, Republik Indonesia diproklamirkan. Setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949, perusahaan bir Heineken tetap menjalankan operasinya dengan nama Heineken’s Indonesia Brewery ME. NV.
Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1957), pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan kapital nasional, di mana perekonomian sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Ini membuat para pengusaha non pribumi harus angkat kaki dari Indonesia, termasuk pula Heineken. Kondisi ekonomi Indonesia saat itu semakin buruk karena pengusaha pribumi masih belum sanggup bersaing dengan pengusaha non pribumi.
Masuk ke era Orde Baru, Heineken kembali mengambil alih tempat pembuatan bir di tahun 1967 dan namanya kemudian berganti menjadi PT Perusahaan Bir Indonesia. Di tahun 1982, PT Perusahaan Bir Indonesia mengubah namanya menjadi PT Multi Bintang Indonesia. Dan hingga kini Multi Bintang tetap melakukan proses brewing untuk Bir Bintang dan Heineken.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar